Minggu, 22 Maret 2015

Pelacur Dibalik Perjuangan Soekarno

 



Pelacur, kata-kata ini terasa tabu untuk keluar dari mulut mereka yang merasa punya kehormatan. Tapi benarkah semua pendapat ini. Dan adakah kata percaya bila saya katakan bahwa pelacur ikut andil bagian dalam masa perjuangan. Saya yakin anda akan serentak menjawab “Tidak, sekali lagi tidak.” Bila itu jawaban anda lalu bagaimana anda menanggapi serpihan kisah Bung Karno dengan para pelacur
Ternyata, para pelacur ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keberatan dengan kalimat itu? Baiklah. Ratusan pelacur, ya… 670 pelacur kota Bandung, mendukung perjuangan Bung Karno mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Masih ada yang keberatan dengan kalimat itu?
Biar saja. Sebab, Bung Karno sendiri tidak keberatan. Kepada penulis otobiografinya, Cindy Adams, Bung Karno mengisahkan bagaimana ia mendirikan PNI lantas merekrut para pelacur menjadi anggotanya. Tak urung, tercatat 670 pelacur berbondong-bondong menjadi anggota PNI. Oleh Bung Karno, mereka dipuji sebagai para loyalis sejati, yang mau menjalankan perintah Bung Karno untuk kepentingan pergerakan.
Keputusan kontroversial Bung Karno itu, bukannya tanpa tentangan. Pada suatu waktu, ia bahkan bertengkar hebat dengan kawan sepertjuangan, Ali Sastroamidjojo ihwal perempuan lacur di tubuh PNI ini. Berikut ini dialog silang pendapat keduanya…
“Sangat memalukan!” Ali memprotes. “Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal –kalau Bung Karno dapat memaafkan saya memakai nama itu. Ini sangat memalukan!” kecam Ali Sastro bertubi-tubi.
“Kenapa?” sergah Bung Karno, seraya menambahkan, “mereka jadi orang revolusioner yang terbaik. Saya tidak mengerti pendirian Bung Ali yang sempit!”
“Ini melanggar susila!” Ali terus menyerang.
“Apakah Bung Ali pernah menanyakan alasan mengapa saya mengumpulkan 670 orang perempuan lacur?” tanya Bung Karno, dan segera dijawabnya sendiri, “Sebabnya ialah, karen saya menyadari, bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa suatu kekuatan. Saya memerlukan tenaga manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagi saya peroalannya bukan bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu-satunya yang kuperlukan.”
Ali tak kurang argumen, “Kita cukup mempunyai kekuatan tanpa mendidik wanita-wanita ini. PNI mempunyai cabang-cabang di seluruh Tanah Air dan semuanya ini berjalan tanpa anggota seperti ini. Hanya di Bandung kita melakukan hal semacam ini.”
Bung Karno menjelaskan, “Dalam pekerjaan ini, maka gadis-gadis pelacur atau apa pun nama yang akan diberikan kepada mereka, adalah orang-orang penting.” Bung Karno bahkan mengultimatum Ali dengan mengatakan, “Anggota lain dapat kulepas. Akan tetapi melepaskan perempuan lacur… tunggu dulu!”
Dengan referensi yang ada di kepalanya, mengalirlah argumen Sukarno yang lain. Ia menarik contoh Madame de Pompadour, yang disebutnya tak lebih dari seorang pelacur pada mulanya, tetapi kemudian ia dapat memainkan peran politik yang penting, bahkan akhirnya menjadi salah satu selir raja Louis XV antara tahun 1745 – 1750.
Kemudian Bung Karno juga mencuplik kisah Theroigne de Mericourt, pemimpin besar dari Perancis awal abad ke-19. Bung Karno menunjuk pula barisan roti di Versailles. “Siapakah yang memulainya? Perempuan-perempuan lacur,” ujar Bung Karno dengan mantap.
Sampai di situ, Ali Sastroamidjojo tak lagi mendebat. Sekalipun ekspresi wajahnya belum sepenuhnya menerima, tetapi setidaknya, ia harus mencari bahan-bahan lain sebelum memulai perdebatan sengit kembali dengan Bung Karno. Terlebih jika itu dimaksudkan untuk “mengalahkan” Sukarno.
Alkisah… 670 pelacur Kota Bandung, selanjutnya menjadi informan (inforgirl…?) bagi Bung Karno. Alkisah, 670 perempuan lacur Kota Kembang, menjadi mata bagi Bung Karno. Alkisah, 670 wanita sundal Paris van Java, menjadi telinga bagi Bung Karno.

Sabtu, 21 Februari 2015

SUMPAH PALAPA

Tribhuwanatunggadewi terlaksana menduduki tahta Kerajaan Majapahit. Meskipun seorang wanita, tetapi benar-benar mahir dalam pengetahuan serta segala keutamaan. Maka dari itu para menteri dan rakyatnya selalu setia dan patuh tanpa rasa takut diancam hukuman, tetapi hanya terdorong oleh ketulusan rasa terhadap keutamaan dan kebijaksanaan Sang Raja.
Tribhuwanatunggadewi, dibantu oleh seorang patih yang sudah tua dan berpengalaman bernama Ki Arya Tadhah. Sehingga Majapahit tenteram kembali seperti semula. Hanya tinggal beberapa sisa yang belum mau bersatu, yaitu dari sadheng.
Terceritalah dua perwira tersebut menyebabkan kekecewaan Senapati Majapahit, lebih-lebih Gajah Mada. Mengingat hal yang ditempuh oleh Ra Kembar dan Ra Banyak, tidak akan bisa memutuskan masalah. Malah besar kemungkinannya akan rnempersubur sikap perrnusuhan. Segeralah Gajah Mada mengutus dua anak buahnya untuk menyusul Ra Kembar dan Ra Banyak, saat beristirahat di tengah hutan. Para utusan menyampaikan bahwa mereka diutus untuk menyusulnya, tapi hal tersebut tidak diterima dengan baik oleh Ra Kembar dan Ra Banyak, malah marah-marah dan terjadilah perkelahian. Ternyata Ra Kembar dan Ra Banyak lebih unggul, utusan dari Majapahit terpaksa meninggalkan peperangan.
Berita tadi menyebabkan marahnya Ki Gajah Mada. Untuk menutupi jangan sampai kejadian itu menjadikan keretakan antar teman, maka Shri Ratu segera mengutus bala tentara menyerang Sadheng. Diserang oleh para Manggala Yudha termasuk Gajah Mada, ternyata bala tentara Majapahit memang unggul dalam peperangan, sehingga bala tentara Sadheng dapat dimusnahkan.
Sekembali dari Sadheng, semua para manggala yuda mendapat Anugerah kenaikan pangkat dan derajat, termasuk Ra Kembar dan Ra Banyak. Konon tersirat pada cerita, Patih Mangkubumi Arya Tadhah, merasa sudah cukup dalam mengabdi kepada Shri Narpati dan memang sudah terlalu tua untuk menjadi Mahapati, mengingat perkembangan Ketajaan Majapahit yang kian menjadi besar.
Berdasarkan pendapat para keluarga istana Kerajaan Majapahit, tidak ada lagi yang dirasa pantas menggantikan kedudukan Mangkubumi kecuali Gajah Mada. Pendapat tersebut mendapat persetujuan dari seluruh perangkat kerajan dan para kerabatnya. Maka dinobatkanlah Gajah Mada, menjadi Patih Mangkubumi.


Ditengah-tengah upacara agung penobatan Patih Hamangkubumi yang disaksikan para pejabat, Mantri, Bupati, Adipati, Manggala yuda, Gajah Mada mengucapkan sumpah setianya:
Lamun huwus kalah Nusantara,
isun amukti palapa.
Lamun huwus kalah Ring Gurun,
Ring Seram, Ring Tanjungpura, Ring Haru,
Ring Pahang, Dempo, Bali, Sundha,
Palembang, Tumasik,
Samana isun amukti palapa”.
Seketika itu terjadilah kekacau an dalam pertemuan agung setelah mendengar sumpah yang diucapkan Gajah Mada. Berbagai macam pendapat terjadi, ada yang mengangguk- angguk, melilit kumis, berbisik, akhirnya menjadi ramai. Ada yang menyetujui, mendukung sumpah Gajah Mada, bahkan ada yang mengejek dan mentertawakannya.
Diantara yang mengejek itu adalah Ra Kembar dan Ra Banyak. Yang pada dasarnya sudah tertanam bibit permusuhan, dan tidak mampu menguasai dirinya. Dengan nada keangkuhannya, tangannya menuding Gajah Mada. Dan berkata bahwa sesungguhnya Gajah Mada itu adalah keturunan orang Sudra. Terlalu jauh sumpah yang diucapkan Gajah Mada  ibarat “Melempar bintang dengan sepotong kayu”, sangatlah tidak mungkin dan pasti gagalnya.

Gajah Mada marah sekali, sudah sifat ksatriya Majapahit hanya ada di ujung pedhang, kerasnya tulang dan kekebalan kulitnya yang dapat menggantikan kepintaran berbicara.
Ra Kembar dan Ra Banyak segera melompat menuju alun-alun sambil menentang lawan. Nampaknya Sang Patih Gajah Mada tetap tenang walaupun dalam batinnya benar-benar marah, maka seketika keringatnya membasahi dadanya yang seperti batu gilang, otot-ototnya nampak bagai ikatan baja yang tidak termakan senjata.

Setelah mohon diri pada Shri Ratu, segera berdiri dan melangkah keluar melewati yang hadir. Langkahnya membuat guncangnya pendopo, menuju ke tempat lawan. Setiba di alun-alun, Gajah Mada dikeroyok oleh Ra Kembar dan Ra Banyak. Ternyata Sang Patih Gajah Mada sangat sakti, walaupun dikeroyok dua perwira yang sudah terkenal perkasa tanpa bala tentara pernah merebut Sadheng, namun demikian hanya dalam waktu singkat keduanya dapat dibunuh. Ra Kembar dan Ra Banyak tewas ditempat peperangan.
Shri Ratu merestui Sumpah Gajah Mada. Cerita di atas tersirat dalam tembang Sinom.