PUNK NOT DEAD
Rambut mohawk warna-warni, celana ketat, sepatu boots, dan segala
dandanan unik yang bagi mayoritas orang dianggap “aneh”, nampaknya mulai
menjadi sesuatu yang membanggakan bagi beberapa remaja di Indonesia
saat ini. Pakaian kumal yang kebanyakan orang malu mengenakannya, justru
menjadi identitas tersendiri bagi beberapa remaja. Sehingga bapak-bapak
tua yang melihat mereka pun bisa mengenali siapa mereka dari
dandanannya, “…..ooohhh, anak punk!”
Punk pada awal kemunculannya di Inggris merupakan reaksi protes atas
ketidakberesan sistem dan pemerintahan yang kapitalis. Mereka menganggap
bahwa pemerintahan yang ada adalah penindas yang memaksakan kehendak
pada rakyatnya. Sehingga, Punk menginginkan terbentuknya tatanan
masyarakat tanpa negara, dimana aturan dalam masyarakat ditentukan oleh
kesepakatan-kesepakatan komunal saja. Ia merupakan suatu fenomena budaya
“alternatif” yang berusaha membangun sebuah wadah yang dapat menampung
segala aktivitas dan ekspresi dalam rangka mencari jati diri, sekaligus
sebagai media perlawanan terhadap berbagai aturan dan norma-norma
keumuman yang berlaku di masyarakat.
Secara garis besar, beberapa prinsip dalam budaya punk yaitu :
- Anti kemapanan : yaitu melawan nilai-nilai dan gaya hidup kebudayaan yang umum di masyarakat, termasuk agama
- DIY (Do It Yourself): mengusahakan segala sesuatu secara mandiri sesuai kemampuan
- Anarkis : menginginkan masyarakat tanpa negara, tanpa pemerintah
- Kesetaraan : semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama
Sama seperti negara asalnya, budaya punk di Indonesia pun mudah diterima
oleh remaja dari yang usia belasan hingga 20-an. Wajar, mengingat usia
remaja adalah masa yang dipenuhi keinginan untuk mencoba sesuatu yang
baru. Remaja yang mudah bosan dan merasa dikungkung kebebasannya merasa
bahwa slogan “anti kemapanan” dari budaya punk menawarkan alternatif
untuk keluar dari norma-norma sosial yang berlaku.
Namun, pergerakan aktif dari kaum punk lalu mengalami perbedaan untuk
memilih bersikap politis atau tidak, yang lalu kaum yang tidak
berorientasi politis inilah yang justru mendominasi. Mereka menyebarkan
isu-isu betapa nikmatnya menjadi seorang yang cuek, yang tidak pernah
terganggu oleh isu apapun selain kenikmatan menenggak alkohol atau
menghisap ganja. Punk yang sejatinya adalah budaya perlawanan sosial,
berubah wujud menjadi budaya bagi kaum yang egois, yang hanya peduli
pada dirinya sendiri. Di sinilah punk menjadi budaya yang gagal.
Yang ironis, punk lalu dimanfaatkan sebagai budaya fashion, budaya trend
semata yang bisa dijual mahal oleh kaum kapitalis, musuh utama kaum
punk. Tidak heran jika kita menemukan pernak-pernik punk mulai dari
kaos, emblem bordir,hingga CD musik beraliran punk di mall-mall besar
dengan harga mahal.
Ya, punk telah gagal. Ia tidak bisa menemukan jati diri sebenarnya
karena ia tidak memiliki konsep yang jelas dalam membenahi masyarakat.
Konsep anarkisme (yaitu tidak adanya pemerintah yang dipandang sebagai
penindas) dan konsep kebebasan mutlak yang ditawarkan hanyalah semu,
tidak menghasilkan sumbangsih apapun bagi masyarakat.
Pemberontak Itu pun Akhirnya Menyerah
Jika kita lihat, seiring bertambahnya usia, para remaja “anti
kemapanan”itu pun akan meninggalkan dunia pemberontakannya, kembali
menjadi orang yang dianggap “wajar” oleh masyarakat. Ada yang kembali
melanjutkan sekolahnya karena berpikir hanya pendidikanlah yang bisa
menunjang masa depannya. Ada yang sibuk dengan pekerjaannya, sehingga
tidak bisa meluangkan waktu untuk sekedar duduk mengobrol, berbagi
dengan sesama komunitas punk. Sebagian lagi memulai kehidupan berumah
tangga, yang berarti mereka harus mulai berjuang untuk menafkahi
keluarganya, tidak bisa terus-terusan nongkrong dan bermain band yang
tidak akan mendatangkan apapun.
Sangat menarik ucapan dari Kent McLard, seorang punkers dari Amerika
yang aktif dalam memproduksi dan menyebarkan rekaman-rekaman musik dan
majalah-majalah komunitas punk. Ia berkata,
” Menentang arus, menjadi seorang anarkis, tinggal di gedung kosong pada usia 20an tampaknya menjadi sebuah hal yang menyenangkan. Tetapi pada usia 30an, tampaknya akan lebih menyenangkan apabila kita justru menceburkan diri kedalam arus dan mengikuti alurnya”
Dari beberapa kenyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa memang
budaya punk hanya diadaptasi oleh remaja-remaja labil, yang masih
mencari jati diri dan belum matang konsep berpikirnya.
Manusia Hidup Ada Aturannya
Manusia hidup di dunia ini tentu memiliki aturan. Jika suatu masyarakat
hidup tanpa aturan dan pemerintahan yang jelas, maka terjadilah
kerusuhan dan perampasan hak antara yang satu dengan yang lain. Ali bin
Abi Thalib berkata, “Tidaklah memperbaiki kehidupan masyarakat kecuali pemimpin, baik dia orang yang shalih ataupun jahat.” Sebagian orang bertanya kepada beliau, “Wahai Amirul Mukminin, kami terima ini pada pemimpin yang shalih. Tapi pemimpin yang jahat, kami tidak setuju.” Beliau menjelaskan, “Karena
melalui mereka, Allah memberikan keamanan jalan-jalan, berjihad melawan
musuh, -beliau menyebutkan peran para pemimpin-, kaum muslimin bisa
berhaji dengan aman, dan beribadah kepada Allah hingga ajal menjemput.” [H.R. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman].
Karena itulah, dengan adanya pemerintah dan norma-norma, manusia tidak
bisa hidup bebas semaunya sendiri. Norma inilah yang menunjukkan bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan budi pekerti, berbeda
dengan binatang.
Kita lihat sekarang ini, atas nama “kebebasan”, manusia bahkan sering
tidak terlihat sebagai makhluk yang berbudi lagi. Atas nama kebebasan,
sepasang muda-mudi tinggal bersama satu atap tanpa ikatan nikah yang
sah. Dilandasi rasa suka sama suka, tanpa tekanan, mereka merasa berhak
dan bebas untuk saling mencurahkan kasih sayang dan hasrat biologisnya.
Hingga lahirlah anak yang tidak jelas garis nasabnya. Atas nama
kebebasan, seorang artis dan seniman bisa tampil di atas panggung dengan
pakaian yang tidak senonoh, sambil mendendangkan musik yang berisi
kata-kata jorok.
Dari contoh-contoh “kebebasan” diatas, masihkah kita melihat manusia
sebagai makhluk yang berbudi ketika mereka mengumbar semua keinginannya?
Allah berfirman,
“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
sesembahannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara baginya? Atau apakah
kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami?
Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka
itu lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” [Q,S. Al Furqan: 43-44]
Manusia Tidak Bisa Hidup Tanpa Rahmat-Nya
Bahkan dari hati kecil kita semua, walau yang meneriakkan “anti
kemapanan” sekalipun, kita pasti mengakui bahwa kita sangat bergantung
kepada pencipta kita, yaitu Allah. Tanpa nikmat dan pertolonganNya, kita
tak mungkin bisa hidup di dunia ini. Sehingga pada hakikat sebagai
makhluk-Nya, kita adalah hamba yang harus mengikuti perintah Allah.
Betapa angkuhnya kita, jika dengan alasan “anti kemapanan” lalu
menganggap norma agama sebagai kejumudan, kemudian berusaha hidup
sebebas-bebasnya, tanpa mengindahkan aturan dari Allah.
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” [Q.S. Al Qashash: 68].
Masih Percaya dengan Punk ?
Dari semua pemaparan diatas, masihkah kita berpikir bahwa punk merupakan
budaya yang bisa menyelesaikan persoalan di masyarakat ? Masihkah kita
percaya dengan budaya yang justru berlawanan dengan fitrah manusia yang
percaya dengan penciptanya ? Orang berakal pasti akan menjawab bahwa
punk telah gagal.(Ristyandani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar